Sepotong Cerita Dari Konser Earth, Wind and Fire

Beruntung adalah mendapat telepon di satu sore di pekan terakhir bulan Maret dan ajakan menonton konser Earth, Wind and Fire terdengar dari suara di ujung telepon! Adalah Christina Dwi Susanti atau biasa saya panggil wiwiek, pemilik suara di ujung telepon yang membagi keberuntungan hari itu. Kejutan yang menyenangkan tentu saja bisa menyaksikan konser band legendaris Earth, Wind and Fire. Lho, nggak jadi nonton bareng si A? Begitu salah satu pertanyaan yang keluar dari mulut saya dengan nada heran dan perasaan kaget bercampur senang tentu saja. Beberapa jam menjelang konser, teman nonton Wiwiek terpaksa membatalkan acara karena agenda penting. Ya, hari-hari terakhir di bulan Maret itu memang menjadi hari sibuk bagi sebagian orang, termasuk teman Wiwiek, mengingat awal April pemerintah berencana menaikkan harga BBM.

Buat saya, rejeki pantang ditolak, maka singkat kata kami sepakat bertemu di Sarinah jam 18.00 untuk berangkat bersama, meski kenyataannya saya tiba lewat beberapa menit. Sekitar jam 19.00 kami sudah sampai Tennis Indoor Senayan, dan sudah ramai dengan penonton. Bersama penonton lain kami menunggu di depan pintu masuk kelas festival yang dibuka beberapa menit kemudian. Begitu masuk kami langsung mencari posisi, sekitar dua meter dari bibir panggung di bagian tengah. Konser dijadwalkan mulai jam 20.00, jadi masih ada sekian menit menunggu. Sambil menunggu, kami sempat berfoto sebentar dengan latar panggung.

Meskipun EWF termasuk band legendaris, dan konser yang digelar malam itu merupakan bagian dari tur dunia yang sekaligus menandai 40 tahun keberadaan band tersebut, namun penonton yang datang malam itu bisa dikatakan lintas generasi. Tidak hanya dari angkatan 60-70an dan 80an saja, tetapi anak-anak muda generasi 90an juga tampak ikut menonton.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.00, tetapi belum ada tanda-tanda konser akan dimulai. Yang ada, kru EWF tampak mengecek ulang sejumlah perangkat. Penonton mulai terlihat tak sabar dan bertepuk tangan tiap kali kru EWF melintas di panggung. Sekitar 20.30 lampu dipadamkan, EWF beserta pemain pendukung naik ke atas panggung. Sontak tepuk tangan dan teriakan penonton terdengar bergemuruh. Lampu panggung menyala dan “Boogie Wonderland” membuka konser.

EWF tampil menghentak dari awal hingga akhir, nyaris tanpa jeda dan tanpa banyak basi-basi. Usai lagu pertama, langsung disambung dengan nomor-nomor hits mereka yang rancak, seperti ”Sing a Song”, “Shining Star” dan “Serpentine Fire”.Tiga pentolan EWF yang tersisa, Philip Bailey (vokal), Verdine White (bas/vokal), dan Ralph Johnson (drum/vokal) yang berusia 60 tahun itu tetap terlihat enerjik, tidak kalah dengan sembilan pemain pendukung yang usianya rata-rata masih muda.

Di atas panggung mereka menunjukkan totalitas mereka sebagai pemusik, penuh energi dan powerfull. Mereka bernyanyi sambil memainkan alat musik dan tak henti bergerak kompak mengikuti irama lagu. Di usia yang tak lagi muda, Philip Bailey dkk masih terlihat begitu mempesona dengan kemampuan musikalitas mereka. Penampilan Verdine White masih mengagumkan. Pada beberapa lagu, Verdine memperlihatkan keahliannya memainkan bas dengan sangat ekspresif dan atraktif hingga mengundang tepuk tangan penonton. Sungguh, saya terpukau dengan penampilan Verdine. Om satu ini memang nggak ada matinya! Dan yang tak kalah mengagumkan, vokal Philip Bailey tetap terjaga, masih terdengar jernih. Ia masih mampu mencapai nada-nada tinggi dengan nafas yang panjang dan ber-falseto. Philip juga sempat memainkan kalimba, sejenis alat musik tradisional Afrika semacam piano dalam ukuran sangat kecil yang cukup digenggam dan dimainkan dengan kedua ibu jari. Suara dentingnya terdengar indah.

Philip, yang menjadi juru bicara malam itu, memperkenalkan personel inti Earth, Wind and Fire dan sembilan pemain pendukung yang memainkan trumpet, saksofon, trombon, gitar, perkusi, drum, dan keyboard. Salah satu dari mereka adalah putera Philip, yang memainkan perkusi dan menjadi backing vocal. Kalimat sapaan yang keluar dari mulut Philip malam itu hanya, “Hi, how you feel?” Itu saja! Ia sempat mengajak penonton ikut berdendang mengikutinya. Selebihnya, Earth, Wind and Fire bicara lewat musik! Mereka seolah-olah tak ingin membiarkan penonton berhenti bergoyang dan bernyanyi.

Ya, ramuan soul, funk, rock, dan jazz yang diusung EWF tak bisa tidak membuat penonton bergoyang dan bergerak mengikuti irama musik. Meskipun ada beberapa lagu yang tidak begitu akrab di telinga saya, yang sepertinya merupakan lagu yang berasal dari album yang dirilis sebelum saya lahir, tetapi tetap saja badan bergerak mengikuti beat lagu. Suasana penuh keriaan berubah dengan nuansa romantis saat salah satu hit EWF, “After the Love Has Gone” dan “Reason” mereka nyanyikan. Ketika intro “After the Love Has Gone” terdengar, penonton tampak sangat antusias dan koor penonton pun mengiringi sepanjang lagu.

Begitu juga ketika EWF menyuguhkan “Fantasy” yang disusul dengan “September” dan “Let’s Groove” yang sangat populer di awal 80-an, sebagian besar penonton ikut bernyanyi dan tentu saja berjingkrak dan bergoyang. Sepanjang sekitar 90 menit, EWF memainkan belasan lagu. Dan “Mighty-mighty” menjadi penutup konser malam itu. Penonton berteriak we want more beberapa kali begitu EWF pamit dan undur dari panggung.

Dan seperti sudah bisa ditebak, EWF kembali naik ke atas panggung. Sebelum memainkan “In the Stone”, Philip Doron Bailey, putera dari Philip Bailey, sempat menyapa penonton dalam bahasa Indonesia. “Indonesia, Apa kabar?” yang langsung disambut teriakan dan tepuk tangan penonton. Usai lagu penutup tersebut, EWF mengucapkan terima kasih dan segera menghilang ke balik panggung.

Meskipun konsep konser sangat sederhana, namun performa musikalitas EWF yang mengagumkan membuat konser itu menjadi tak biasa saja. Dan kami berdua pulang dengan perasaan puas.

~ by anita dhewy on May 2, 2012.

Leave a comment